Mengupas Diskriminasi dan Peran Perempuan di Indonesia

|
Kesejahteraan Sosial
|
Bagikan ke :

Peringatan Hari Wanita Internasional (International Women’s Day/IWD) dan Hari Tanpa Diskriminasi (Zero Discrimination Day/ZDD) menjadi pengingat penting akan diskriminasi yang dihadapi perempuan, menjadikan mereka salah satu kelompok paling rentan di masyarakat. Dalam sebuah diskusi yang diadakan di Jakarta, Indonesia, sejumlah pejabat pemerintah, akademisi, pelaku usaha, komunitas, dan media berkumpul untuk mengatasi permasalahan yang dihadapi perempuan serta mempromosikan kerangka hukum nasional yang melindungi kelompok rentan dari diskriminasi. Acara ini diselenggarakan oleh ReThinkbyAWR bekerja sama dengan Diesel One Solidarity, UNAIDS Indonesia, dan ILUNI UI, dan berlangsung di Gedung Nusantara V, kompleks Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (DPR/MPR RI).

Mengakui Perempuan sebagai Kelompok Rentan:

Ketua DPR MPR, Bambang Soesatyo, menekankan hubungan antara IWD dan ZDD dalam diskusi ini. Beliau menekankan bahwa perempuan adalah salah satu kelompok paling rentan dan sering menjadi korban diskriminasi. Beliau merujuk pada laporan Bank Dunia yang menempatkan Indonesia pada peringkat 64,4 dalam hal kesetaraan gender, tertinggal dibandingkan dengan negara-negara di kawasan seperti Laos, Singapura, Filipina, dan Thailand. Bambang Soesatyo menegaskan bahwa penanganan diskriminasi di Indonesia harus didasarkan pada nilai-nilai nasional, dipandu oleh Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan Undang-Undang Dasar 1945, yang dikenal sebagai Empat Pilar MPR.

Pentingnya Konteks Budaya Indonesia:

Wakil Ketua MPR, Arsul Sani, menegaskan kembali pentingnya Empat Pilar MPR dan menekankan bahwa ketika berbicara tentang diskriminasi, sangat penting untuk mempertimbangkan budaya dan konteks unik Indonesia. Beliau menekankan bahwa kontrak sosial Indonesia tertuang dalam Undang-Undang Dasar 1945 dan berbeda dari negara-negara Barat. Oleh karena itu, dalam mengatasi diskriminasi di Indonesia, kita harus mempertimbangkan nilai dan perspektif bangsa kita sendiri.

Peran Kerangka Hukum:

Wakil Ketua MPR, Lestari Moerdijat, menggarisbawahi perlunya advokasi terus-menerus untuk isu-isu penting, seperti mencapai kesetaraan gender, yang masih dihadapi Indonesia. Beliau menyebutkan bahwa Indonesia memiliki Undang-Undang Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) untuk melindungi warganegara dari kekerasan seksual. Namun, regulasi pelaksanaan yang diperlukan untuk UU TPKS masih harus diwujudkan sepenuhnya. Sayangnya, akibat keterlambatan ini, sejumlah kasus kekerasan seksual belum dapat diselesaikan dengan baik.

Mengenali Pentingnya Konteks Budaya:

Sementara itu, Krittayawan Tina Boonto, Country Director UNAIDS untuk Indonesia, menyoroti pentingnya menghilangkan diskriminasi di berbagai lapisan masyarakat. Beliau menekankan bahwa kita harus memulai dari nol diskriminasi, karena dari sinilah perubahan akan menular ke berbagai aspek lainnya, termasuk pengentasan kemiskinan dan perbaikan kesehatan.

Peran Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM):

Perwakilan dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Anis Hidayah, mengungkapkan bahwa Indonesia sudah membuat kemajuan dalam upaya menghilangkan diskriminasi, termasuk melalui regulasi. Ia menambahkan bahwa Komnas HAM telah menerbitkan Standar Norma dan Pengaturan (SNP) yang dapat meminimalkan diskriminasi. SNP Hak Asasi Manusia adalah dokumen yang merupakan penjabaran implementatif atas berbagai instrumen Hak Asasi Manusia baik tingkat internasional maupun nasional serta norma-norma Hak Asasi Manusia yang terus berkembang secara dinamis, agar sesuai dengan konteks dan peristiwa khususnya di Indonesia. Karena itu, Anis menyatakan dukungan penuh Komnas HAM dalam upaya mencapai zero discrimination

 

Kegiatan Lainnya